Senin, 07 Januari 2013

HADIS SHAHIH


HADIS SHAHIH



Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadis
Dosen Pengampu : Amirus Hadi Q, Lc.M,Ei


 










Disusun Oleh :

Lien Qurrotul Aini
110391

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2011

HADIS SHAHIH

A.  PENDAHULUAN
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Hadis nabi dilihat dari aspek periwayatanya terdiri dari Hadis mutawaatir dan ahad. Untuk Hadis mutawatir telah disepakati para Ulama’ tidak dipermasalahkan lagi, sementara Hadis ahad masih dipermasalahkan keberadaanya. Maksudnya, sebagaimana telah dijelaskan Syuhudi Ismail, apabila melalui penelitian suatu Hadis diketahui bersetatus mutawatir maka tealah berakhir penelitian terhadap Hadis yang bersangkutan. Sebaliknya apabila melalui penelitian suatu Hadis diketahui berstatus tidak mutawatir maka kegiatan penelitian Hadis masih harus dialanjutkan.
Berardasarjkan penelitian para ulama’ diketahui bahwa ternyata tingkatan kualitas Hadis, dalam hal ini Hadis ahad, ternyata tidak sama. Oleh karena itu para Ulama’ merasa perlu menciptakan beberapa istilah sebagai standar untuk maengukur kualitas Hadis. Istilah-istilah tersebut adalah shahih, hasan dan dhaif. Kualitas Hadis tertinggi adalah shahih, kemudian hasan dan yang terakhir adalah dhaif. Dengan adanya kategori ini kita memilih-milih mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak.  

B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan diatas, maka muncul rumusan masalah sebagai berikut :
1.     Pengertian Hadis Shahih.
2.     Syarat-Syarat Hadis Shahih.
3.     Macam-Macam Hadis Shahih.
4.     Pendapat dan Tanggapan Para Ulama’ Mengenai Hadis Shahih.




C.  PEMBAHASAN
1.    Pengertian Hadis Shahih
shahih menurut bahasa adalah lawan dari kata “saqim” (sakit). Kata shahih juga telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia dengan arti “sah, benar, sempurna, sehat, (tiada segalanya) dan juga pasti.[1] Sedangkan pengertiuan Hadis shahih secara istilah belum dinyatakn ahli Hadis dari kalangan ‘al-Mutaqaddimin” (samlpai abad III H) mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan megenai kriteria penerimaa Hadis yang dapat dipegangi.
Diantara pernyataan-pernyataan mereka adalah : “tidak diterima periwayatan suatu hadis yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan Hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiannya”.
Disamping itu ada beberapa ahli Hadis yang mencoba mendefinisikan Hadis shahih, diantaranya :
a.    Menurut Ibnu al-Shaleh (wafat 643 H).
Hadis shahih yaitu Hadis musnad yang bersanbung sanadnya dengan periwayatan oleh orang yang adil lagi dhabit juga hingga akhir sanad, serta tidak ada kejanggalan dan cacat.
b.   Menurut al-Suyuti
Hadis shahih adalah Hadis yang bersanbung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat.
c.    Menurut Ajaj al-Katib
Hadis shahih yaitu Hadis yang bersambung sanadnya dengan riwayat yang dapat dipercaya dari yang bisa dipercaya dari awal sanad hingga akhir sanad dengan tanpa ada cela dan cacatnya.[2]
Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Hadis shahih menurut istilah yaitu Hadis yang sanadnya bersambug kepada nebi Muhamad SAW, diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, (didalam Hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat).[3]
2.    Syarat-ayarat Hadis shahih
Dari beberapa definisi tentang Hadis shahih sebagaimana tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat Hadis shahih adalah :
a.   Sanadnya bersambung
sanad dari matan Hadis itu rawi-rawinya tidaak terputus melainkkan bersambung dari permulaanya sampai pada akhir sanad. Oleh kerena itu, hadis mursal, munqati’, mu’dhal, da muallaq tidak dalam kategori Hadis yang muttasil sanadnya.
b.   Rawi-rawinya adil
kata adil menurut bahasa biasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidah dzalim, tidak menyimpang, tulus, jujur. Seorang dikatakan adil apabia adan padanya sifat-sifat yang mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat “muru’ah” , yaitu senantiasa berakhlak baik dalam seagala tingkah lakunya. Dengan demikian maka yang diamaksud dalam perawi dalam periwayatan dalam sanad Hadis adalah semua perawinya disamping harus Islam dan baligh juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.    Senantiasa melaksanakan berbagai perintah agama dan meninggalkan semua laranganya.
2.    Senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan dosa kecil.
3.    Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah, yakni suatu sikap kehati-hatian dari melakukan prbuatan yang sia-sia atau perbuatan dosa.
c.        Rawi-rawinya sempurna kedhabitanya
yang dimaksud sempurna kedhabitannya adalah kedhabitan pada tingkatan yang tinggi. Dala hal ini dhabit ada dua macam, yaitu :
1.    Dhabit hati
Seorang dikatakan dhabit hati apabila dia mampu menghafal setiap Hadis yang didengarnya dan sewaktu-waktu dia bisa mengutarakan atau menyampaikannya.
2.    Dhabit kitab
Seorang dikatakan dhabit kitab apabila setiap Hadis yang diriwayatkan tertulis dalam kitabnya yang sudah di tashih (dicek kebenarannya) dan selalu dijaga.
Kedhabitan seorang perawi, tidak brarti ia tidak terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan. Munkin saja kekeliruan atau kesalahan itu terjadi sesekali pada sorang perawi yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.
d.  Tidak syadz
Yang dimaksud dengan syadz atau syudzuz (jama’ dari syudz) diini adalah Hadis yang bertentangan dengan Hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Ini pengertian yang di pegang ,oleh al-Syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan para Ulama’ lainya.
Melihat kepada pengertian syadz di atas, dapat dipahami bahwa hadis yang tidak syadz (ghair syadz) adalah Hadis yang matannya tidak bertantangan dengan Hadis ,lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
e.   Tidak ber’illat
Kata ‘illat yang bentuk jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal, menurut bahasa berati cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Dengan demikian yang dimaksud Hadis ber’illat adalah Hadis-Hadis yang ada cacat atau penyakitnya.
Menurut istilah, ‘illat adalah suatu sebab yang tersembunyi atau samar-samar, yang kerenanya dapat merusak kesahihan  Hadis tersebut. Dikatakan samar-samar karena jika dilihat dari dzahiriyah, Hadis tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada Hadis tersebut mendapatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian, maka hadis tidak ber’illat yaitu Hadis-Hadis yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.[4]
3.    Macam-macam Hadis shahih
Hadis shahih dibagi menjadi dua macam, yaitui :
a)    Hadis shahih lidzatihi
yaitu Hadis yang mengandung sifat-sifat hadis maqbul yang tertinggi, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas
contohnya.

المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهجر من هجر ما نهى الله عنه (متفق عليه)

Hadis ini diriwayatkan oleh imam bukhori
b)    Hadis lighairihi
suatu Hadis yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-ayarat tertinggi dari sebuah Hadis maqbul.
Hal itu bisa terjadi karena ada beberapa hal, misalnya saja perawinya sudah diketahui adil tetapi dari sisi ke-dhabitan nya aia dinilai kurang. Hadis ini menjadi shahih karena ada Hadis lain yang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat atau malah lebih shahih.
Hadis dibawah ini merupakan contoh dari hadis hasan lidzatih yang naik derajatnya menjadi Hadis shahih lighairihi :

لَوْلاَ اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى اَوْ عَلَى النَّاسِ لأَمَرْتَهُمْ باِ السِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه البخارى)

Artinya :“andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali melaksanakn sholat” (HR. Bukhori).[5]

4.    Pendapat dan tanggapan para Ulama’ mengenai Hadis shahih
a)    Pendapt para ulama’
Para ulama’ sepakat bahwa Hadis shahih dapat dijadikan hujjah, kecuali dalam masalah akidah. Diantara dalil yang mereka gunakan mengenai dapatnya Hadis shahih dijadikan huah adalah sebagaimana dikemukakan oleh as-Siba’i, yakni “nabi Muhammad pernah menyebarkan petugas-petugas keberbagai penjuru wilayah, kemudian serombongan dari Bahrain mnghadap kepada nabi dan kepada mereka diperkenalkan siapa yang ada bersama nabi”. Diantara sahabat yang hadir yatu Ibnu Said, Ibnu al-Ash yang kemudian ditugaskan Rosulullah untuk menyertai mereka.
Dalam peristiwa lain Rosulullah mengutus Muadz Ibnu Jabal ke Yaman dengan tugas mengambil tindakan kepada para pembangkang yang sebelumnya telah beriman. Diperintahkanya pula untuk mengerjakan apa yang telah di fardhukan oleh Allah kepada mereka serta untuk memungut zakat. Pengiriman Muadz ke Yaman didasarkan atas kejujuran dan kedudukanya yang telah diakui. Dengan demikian pesan nabi Muhammad melalui satu orang sudah dapat dijadikan hujjah.[6]
Adapun untuk permasalahan yang berkaitan dengan akidah, Ulama’ berbeda pendapat. Demikian menurut Syuhudi Ismail, bahawa Hadis ahad (yang sahih)  dapat saja digunakan sebagai dalil untk menetapkan masalah-masalah akidah. Alasannya, kareana Hadis ahad yang sahih memfaedahkan ilmu dan yang memfaedahkan ilmu wajib di amalkan.
Sedangkan pendapat yang kedua mengenai Hadis ahad, walaupun mmenuhi syarat, Hadis ahad tetap tidak bisa dijadikan dalil pokok terhadap penetapan akidah. Alasannya, karena Hadis ahad bersifat “dzhanni” sedangkan masalah akidah adalah masalah keyakinan sehingga yang yakin, tidak dapat didasarkan pada petunjuk yang masih “dzhanni” (dugaan).
b)   Tanggapan para Ulama’
Sikap-sikap Ulama’ Hadis dalam menyeleksi periwayat-periwayat Hadis cukup berhati-hati (ketat). Sikap ini terlihat dalam penetapan peringkat para periwayat Hadis, baik ditinjau dari jalur para sahabat, ataupun lokasi tempat tinggal para pearwi Hadis. Peringkat yang paling berstandar dalam periwayatan Hadis mereka beri istilah “ashahu al-asanid”, Hadis-Hadis yang sudah melewati seleksi “ashahu al-asanid”, itulah yang diterima sebagai Hadis shahih.
Disamping itu terdapat para ulama’ mengenai kehujjahan hadis shahih dalam masalah-masalah non akidah, sebagkian ulama’ bersifat hati-hati (ketat), mereka hanya menggunakan hadis-hadis mutawatir saja dan tidak menggunakan hadis shahih. Sebagian ulama’ lain ada yang mengambil sifat longgar, yaitu hadis shahih dapat digunakan sebagai dalil untuk menetapkan masalah akidah.
Kedua pendapat yang telah bertolak  belakang itu ditengahi oleh pendapat yang agak moderat yang mengatakan bahwa Hadis shahih (ahad) yang telah memiliki syarat-ayarat shahih dapat dijadikan hujjah  dalam masalah akidah dengan catatan Hadis trsebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis lain yang lebih kuat.[7]         

D.  KESIMPULAN
1.    Hadis shahih menurut bahasa yaitu lawan kata “saqim” (sakit). Sedangkan pengertian hadis shahih menurut istilah adalah hadisb yang sanadnya bersambung (sampai kepada nabi muhammad), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad (didalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat).
2.    Syarat-syarat hadis shahih yaitu :
a)     Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)
b)    Rawi-rawinya adil
c)     Rawi-rawinya sempurna kedhabitannya
d)    Tidak syadz
e)     Tidak ber’illat
3.    Macam-macam hadis shahih yaitu :
a)     Hadis shahih li dzatihi
Yaitu hadis-hadis yang mengandung sifat-sifat hadis maqbun yang tinggi, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana disebutkan diatas.
b)     Hadis shahih li ghairihi
Yait hadis yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadis maqbul.
4.    Pendapat para ulama’ mengenai hadis shahih bahwasanya bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah, kecuali dalam masalah akidah, sedangkan tanggapan para ulama’ mengenai hadis shahih adalah mereka cukup berhati-hati dalam menyaeleksi hadis. Pengikat paling standar dalam periwayatan hadis diberi nama “ashahhu al-asanid”. Da;am masalah akidah para ulama’ bersikap hati-hati (ketat) merka hanya menggunakan hadis mutawatir saja dan tidak menggunakan hadis shahih, sebagian ulama’ ada yang mengambil sikap longgar, yaitu hadis shshih dapat digunakan sebagai dalil untuk mnetapkan masalah akidah.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M, Pergeseran Pemikiran Hadis, Paramadina, Jakarta, 2000
Al-maliki, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
Suparta, Munzeir, Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002
Suryadilaga, M.al-Fatih, dkk, Ulumul Hadis, Teras, Yogyakarta, 2010


[1]M Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Paramadina, Jakarta, 2000, hlm.185
[2]Munzeir Suparta, Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm.129-130
[3] M Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, Teras, Yogyakarta, 2010, hlm.244
[4] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.52-53
[5]Munzeir Suparta, Op.cit, hlm.135
[6] M Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Op.cit, hlm.252-253
[7] Ibid, hlm.76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar