HADIS SHAHIH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul
Hadis
Dosen Pengampu : Amirus
Hadi Q, Lc.M,Ei
Disusun Oleh :
Lien
Qurrotul Aini
110391
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2011
HADIS SHAHIH
A. PENDAHULUAN
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Hadis nabi
dilihat dari aspek periwayatanya terdiri dari Hadis mutawaatir dan ahad. Untuk Hadis
mutawatir telah disepakati para Ulama’ tidak dipermasalahkan lagi, sementara Hadis
ahad masih dipermasalahkan keberadaanya. Maksudnya, sebagaimana telah
dijelaskan Syuhudi Ismail, apabila melalui penelitian suatu Hadis diketahui
bersetatus mutawatir maka tealah berakhir penelitian terhadap Hadis yang
bersangkutan. Sebaliknya apabila melalui penelitian suatu Hadis diketahui
berstatus tidak mutawatir maka kegiatan penelitian Hadis masih harus
dialanjutkan.
Berardasarjkan penelitian para ulama’ diketahui bahwa
ternyata tingkatan kualitas Hadis, dalam hal ini Hadis ahad, ternyata tidak
sama. Oleh karena itu para Ulama’ merasa perlu menciptakan beberapa istilah
sebagai standar untuk maengukur kualitas Hadis. Istilah-istilah tersebut adalah
shahih, hasan dan dhaif. Kualitas Hadis tertinggi adalah shahih, kemudian hasan dan yang terakhir adalah dhaif.
Dengan adanya kategori ini kita memilih-milih mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan diatas, maka muncul rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Pengertian Hadis Shahih.
2.
Syarat-Syarat Hadis Shahih.
3.
Macam-Macam Hadis Shahih.
4.
Pendapat dan Tanggapan Para Ulama’
Mengenai Hadis Shahih.
C. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hadis Shahih
shahih menurut bahasa adalah lawan dari kata “saqim” (sakit). Kata shahih juga telah menjadi kosa kata
bahasa Indonesia dengan arti “sah, benar, sempurna, sehat, (tiada segalanya)
dan juga pasti.[1]
Sedangkan pengertiuan Hadis shahih secara istilah belum dinyatakn ahli Hadis dari
kalangan ‘al-Mutaqaddimin” (samlpai abad III H) mereka pada umumnya hanya
memberikan penjelasan megenai kriteria penerimaa Hadis yang dapat dipegangi.
Diantara pernyataan-pernyataan mereka adalah : “tidak
diterima periwayatan suatu hadis yang bersumber dari orang-orang yang tidak
dikenal memiliki pengetahuan Hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang
yang ditolak kesaksiannya”.
Disamping itu ada beberapa ahli Hadis yang mencoba
mendefinisikan Hadis shahih, diantaranya :
a.
Menurut Ibnu al-Shaleh (wafat 643
H).
Hadis shahih yaitu Hadis musnad yang bersanbung
sanadnya dengan periwayatan oleh orang yang adil lagi dhabit juga hingga akhir
sanad, serta tidak ada kejanggalan dan cacat.
b.
Menurut al-Suyuti
Hadis shahih adalah Hadis yang bersanbung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak
ber’illat.
c.
Menurut Ajaj al-Katib
Hadis shahih yaitu Hadis yang bersambung sanadnya
dengan riwayat yang dapat dipercaya dari yang bisa dipercaya dari awal sanad
hingga akhir sanad dengan tanpa ada cela dan cacatnya.[2]
Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Hadis shahih menurut
istilah yaitu Hadis yang sanadnya bersambug kepada nebi Muhamad SAW,
diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, (didalam Hadis itu)
tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat).[3]
2.
Syarat-ayarat Hadis shahih
Dari beberapa definisi tentang Hadis shahih sebagaimana tersebut diatas dapat dinyatakan
bahwa syarat-syarat Hadis shahih adalah :
a.
Sanadnya bersambung
sanad dari matan Hadis itu rawi-rawinya tidaak terputus
melainkkan bersambung dari permulaanya sampai pada akhir sanad. Oleh kerena
itu, hadis mursal, munqati’, mu’dhal, da muallaq tidak dalam kategori Hadis yang muttasil sanadnya.
b.
Rawi-rawinya adil
kata adil menurut
bahasa biasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidah dzalim, tidak
menyimpang, tulus, jujur. Seorang dikatakan
adil apabia adan padanya sifat-sifat yang mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat “muru’ah” , yaitu senantiasa berakhlak baik
dalam seagala tingkah lakunya. Dengan demikian maka yang diamaksud dalam perawi
dalam periwayatan dalam sanad Hadis adalah semua perawinya disamping harus Islam
dan baligh juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.
Senantiasa melaksanakan berbagai
perintah agama dan meninggalkan semua laranganya.
2.
Senantiasa menjauhi
perbuatan-perbuatan dosa kecil.
3.
Senantiasa memelihara ucapan dan
perbuatan yang dapat menodai muru’ah, yakni suatu sikap kehati-hatian dari
melakukan prbuatan yang sia-sia atau perbuatan dosa.
c.
Rawi-rawinya sempurna kedhabitanya
yang dimaksud sempurna kedhabitannya adalah kedhabitan
pada tingkatan yang tinggi. Dala hal ini dhabit ada dua macam, yaitu :
1.
Dhabit hati
Seorang dikatakan dhabit hati apabila dia mampu
menghafal setiap Hadis yang didengarnya dan sewaktu-waktu dia bisa mengutarakan
atau menyampaikannya.
2.
Dhabit kitab
Seorang dikatakan dhabit kitab apabila setiap Hadis yang
diriwayatkan tertulis dalam
kitabnya yang sudah di tashih (dicek kebenarannya) dan selalu dijaga.
Kedhabitan seorang perawi, tidak brarti ia tidak
terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan. Munkin saja kekeliruan
atau kesalahan itu terjadi sesekali pada sorang perawi yang demikian itu tidak
dianggap sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.
d. Tidak syadz
Yang dimaksud dengan syadz atau syudzuz
(jama’ dari syudz) diini adalah Hadis yang bertentangan dengan Hadis lain yang lebih kuat
atau lebih tsiqqah. Ini pengertian yang di pegang ,oleh al-Syafi’i dan diikuti
oleh kebanyakan para Ulama’ lainya.
Melihat kepada pengertian syadz di atas, dapat dipahami
bahwa hadis yang tidak syadz (ghair syadz) adalah Hadis yang matannya
tidak bertantangan dengan Hadis ,lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
e.
Tidak ber’illat
Kata ‘illat yang bentuk jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal,
menurut bahasa berati cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Dengan
demikian yang dimaksud Hadis ber’illat adalah Hadis-Hadis yang ada cacat atau
penyakitnya.
Menurut istilah, ‘illat adalah suatu sebab yang
tersembunyi atau samar-samar, yang kerenanya dapat merusak kesahihan Hadis tersebut. Dikatakan samar-samar karena
jika dilihat dari dzahiriyah, Hadis tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran
pada Hadis tersebut mendapatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan
demikian, maka hadis tidak ber’illat yaitu Hadis-Hadis yang didalamnya tidak
terdapat kesamaran atau keragu-raguan.[4]
3.
Macam-macam Hadis shahih
Hadis shahih dibagi menjadi dua macam, yaitui :
a)
Hadis shahih lidzatihi
yaitu Hadis yang mengandung sifat-sifat hadis maqbul
yang tertinggi, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas
contohnya.
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهجر من هجر ما نهى الله عنه (متفق
عليه)
Hadis ini diriwayatkan oleh imam bukhori
b)
Hadis lighairihi
suatu Hadis yang tidak memenuhi secara sempurna
syarat-ayarat tertinggi dari sebuah Hadis maqbul.
Hal itu bisa terjadi karena ada beberapa hal, misalnya
saja perawinya sudah diketahui adil tetapi dari sisi ke-dhabitan nya aia
dinilai kurang. Hadis ini
menjadi shahih karena ada Hadis lain yang sama atau sepadan (redaksinya)
diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat atau malah lebih shahih.
Hadis dibawah ini merupakan contoh dari hadis hasan
lidzatih yang naik derajatnya menjadi Hadis shahih lighairihi :
لَوْلاَ اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى اَوْ عَلَى النَّاسِ لأَمَرْتَهُمْ باِ
السِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه البخارى)
Artinya :“andaikan tidak memberatkan pada umatku,
niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali melaksanakn sholat” (HR.
Bukhori).[5]
4.
Pendapat dan tanggapan para
Ulama’ mengenai Hadis shahih
a)
Pendapt para ulama’
Para ulama’ sepakat bahwa Hadis shahih
dapat dijadikan hujjah, kecuali dalam masalah akidah. Diantara dalil yang
mereka gunakan mengenai dapatnya Hadis shahih dijadikan huah adalah sebagaimana
dikemukakan oleh as-Siba’i, yakni “nabi Muhammad pernah menyebarkan
petugas-petugas keberbagai penjuru wilayah, kemudian serombongan dari Bahrain mnghadap
kepada nabi dan kepada mereka diperkenalkan siapa yang ada bersama nabi”.
Diantara sahabat yang hadir yatu Ibnu Said, Ibnu al-Ash yang kemudian
ditugaskan Rosulullah untuk menyertai
mereka.
Dalam peristiwa lain Rosulullah mengutus Muadz Ibnu Jabal ke Yaman dengan tugas mengambil tindakan kepada para pembangkang yang sebelumnya telah
beriman. Diperintahkanya pula untuk mengerjakan apa yang telah di fardhukan
oleh Allah kepada mereka serta untuk memungut zakat. Pengiriman Muadz ke Yaman didasarkan
atas kejujuran dan kedudukanya yang telah diakui. Dengan demikian pesan nabi Muhammad
melalui satu orang sudah dapat dijadikan hujjah.[6]
Adapun untuk permasalahan yang
berkaitan dengan akidah, Ulama’ berbeda pendapat. Demikian menurut Syuhudi
Ismail, bahawa Hadis ahad (yang sahih)
dapat saja digunakan sebagai dalil untk menetapkan masalah-masalah akidah.
Alasannya, kareana Hadis ahad yang sahih memfaedahkan ilmu dan yang
memfaedahkan ilmu wajib di
amalkan.
Sedangkan pendapat yang kedua
mengenai Hadis ahad, walaupun mmenuhi syarat, Hadis ahad tetap tidak bisa
dijadikan dalil pokok
terhadap penetapan akidah. Alasannya, karena Hadis ahad bersifat “dzhanni”
sedangkan masalah akidah
adalah masalah keyakinan sehingga yang yakin, tidak dapat didasarkan pada
petunjuk yang masih “dzhanni”
(dugaan).
b)
Tanggapan para Ulama’
Sikap-sikap Ulama’ Hadis dalam
menyeleksi periwayat-periwayat Hadis cukup berhati-hati (ketat). Sikap ini
terlihat dalam penetapan peringkat para periwayat Hadis, baik ditinjau dari
jalur para sahabat, ataupun lokasi tempat tinggal para pearwi Hadis. Peringkat
yang paling berstandar dalam periwayatan Hadis mereka beri istilah “ashahu
al-asanid”, Hadis-Hadis yang sudah melewati seleksi “ashahu al-asanid”,
itulah yang diterima sebagai Hadis shahih.
Disamping itu terdapat para ulama’
mengenai kehujjahan hadis shahih dalam masalah-masalah non akidah, sebagkian
ulama’ bersifat hati-hati (ketat), mereka hanya menggunakan hadis-hadis
mutawatir saja dan tidak menggunakan hadis shahih. Sebagian ulama’ lain ada
yang mengambil sifat longgar, yaitu hadis shahih dapat digunakan sebagai dalil
untuk menetapkan masalah akidah.
Kedua pendapat yang telah
bertolak belakang itu ditengahi oleh
pendapat yang agak moderat yang mengatakan bahwa Hadis shahih (ahad) yang telah
memiliki syarat-ayarat shahih dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah dengan catatan Hadis trsebut
tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis lain yang lebih kuat.[7]
D. KESIMPULAN
1.
Hadis shahih menurut bahasa yaitu
lawan kata “saqim” (sakit). Sedangkan pengertian hadis shahih menurut istilah
adalah hadisb yang sanadnya bersambung (sampai kepada nabi muhammad),
diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad (didalam
hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat).
2.
Syarat-syarat hadis shahih yaitu :
a)
Sanadnya bersambung (ittishal
al-sanad)
b)
Rawi-rawinya adil
c)
Rawi-rawinya sempurna
kedhabitannya
d)
Tidak syadz
e)
Tidak ber’illat
3.
Macam-macam hadis shahih yaitu :
a)
Hadis shahih li dzatihi
Yaitu hadis-hadis yang mengandung sifat-sifat hadis maqbun yang tinggi,
yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana disebutkan diatas.
b)
Hadis shahih li ghairihi
Yait hadis yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi
dari sifat sebuah hadis maqbul.
4.
Pendapat para ulama’ mengenai
hadis shahih bahwasanya bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah, kecuali
dalam masalah akidah, sedangkan tanggapan para ulama’ mengenai hadis shahih
adalah mereka cukup berhati-hati dalam menyaeleksi hadis. Pengikat paling
standar dalam periwayatan hadis diberi nama “ashahhu al-asanid”. Da;am masalah
akidah para ulama’ bersikap hati-hati (ketat) merka hanya menggunakan hadis
mutawatir saja dan tidak menggunakan hadis shahih, sebagian ulama’ ada yang
mengambil sikap longgar, yaitu hadis shshih dapat digunakan sebagai dalil untuk
mnetapkan masalah akidah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, M, Pergeseran
Pemikiran Hadis, Paramadina, Jakarta, 2000
Al-maliki, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
Suparta, Munzeir,
Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002
Suryadilaga,
M.al-Fatih, dkk, Ulumul Hadis, Teras, Yogyakarta, 2010
[1]M Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis,
Paramadina, Jakarta, 2000, hlm.185
[2]Munzeir Suparta, Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo,
Jakarta, 2002, hlm.129-130
[3] M Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis,
Teras, Yogyakarta, 2010, hlm.244
[4] Muhammad
Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
hlm.52-53
[5]Munzeir
Suparta, Op.cit, hlm.135
[6] M
Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Op.cit, hlm.252-253
[7] Ibid,
hlm.76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar