Senin, 07 Januari 2013

MAKALAH IMBALAN MENGAJAR


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
Segala puji syukur hanya milik Allah sang Khalik, yang maha pengasih dan maha penyang, dan shalawat salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah yang senantiasa kita harap selalu syafaat beliau kelak di yaumil qiyamah.
Menurut tafsiran ayat 263 surat Al baqarah menyebutkan Nafkah ata upah  yang terlahir dari niat yang shalih dan pemberi nafkah tidak mengiringinya dengan menyebut-nyebutnya dan menyinggung perasaan penerima.

Mengambil upah dalam mengajarkan Al Quran atau hadis Nabi SAW, atau ilmu agama lainnya, maka berhak menrima dari jerih payahnya. Sebagaimana dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Dari Ibu Abbas r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda, pekerjaan yang lebih berhak menerima upahnya ialah mengajarkan kitab Allah Ta`ala”. H.R Bukhari dan muslim.
Dari hadis diatas bisa disimpulkan bahwa orang yang mengajarkan al quran, dapat menerima upah dari apa yang diajarkan.
Dalam pembahasan ini kami akan singgung pendapat para Ulama Imam Mazhab tentang pekerjaan-pekerjaan Ibadah (ketaatan), sepeti membaca Al Qur`an, mengajarkan Al Qur`an dan lain sebagainya

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penjelasan surat Al Baqarah ayat 261 – 263, Al an’am ayat 160
dan surat An Nisa’ ayat 32 – 33 yang menerangkan tentang imbalan pendidik
atau upah seorang pengajar ?
2.      Bagaimana tafsiran Al Baqarah ayat 261 – 263 yang menerangkan tentang
imbalan pendidik atau upah seorang pengajar ?
3.        Bagaimana Tafsiran Surat Al-An’am Ayat 160 Tentang Pahala Berbuat Kebajikan

BAB II
PEMBAHASAN
TENTANG KONSEP IMBALAN MENGAJAR
A.    Ayat- Ayat Tentang Imbalan Mengajar
1.      Surat Al  Baqarah ayat 261 – 263
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y Ÿ@Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui 261
Dalam ayat ini Allah swt. menggambarkan keberuntungan orang yang suka membelanjakan atau menyumbangkan harta bendanya di jalan Allah, yaitu untuk mencapai keridaan-Nya.
Hubungan antara infak dan hari akhirat adalah erat sekali karena sebagaimana diketahui, seseorang tak akan mendapat pertolongan apa pun dan dari siapa pun pada hari akhirat itu, kecuali dari hasil amalnya sendiri selagi ia masih di dunia, antara lain amalnya yang berupa infak di jalan Allah. Betapa mujurnya orang yang suka menafkahkan hartanya di jalan Allah oleh ayat ini dilukiskan sebagai berikut: bahwa orang tersebut adalah seperti seorang yang menyemaikan sebutir benih di tanah yang subur. Benih yang sebutir itu menumbuhkan sebatang pohon dan pohon itu bercabang tujuh, setiap cabang menghasilkan setangkai buah dan setiap tangkai berisi seratus biji sehingga benih yang sebutir itu memberikan hasil sebanyak 700 butir. Ini berarti tujuh ratus kali lipat. Bayangkanlah betapa banyak hasilnya apabila benih yang ditanamnya itu lebih dari sebutir.
Pada akhir ayat ini Allah swt. menyebutkan dua sifat di antara sifat-sifat-Nya, yaitu Maha Luas dan Maha Mengetahui. Maksudnya, Allah Maha Luas rahmat-Nya kepada hamba-Nya, karunia-Nya tak terhitung jumlahnya. Dan Maha Mengetahui siapakah di antara hamba-hamba-Nya yang patut diberi pahala yang berlipat-ganda, yaitu mereka yang suka menafkahkan harta bendanya untuk kepentingan umum, untuk menegakkan kebenaran, dan untuk kepentingan pendidikan bangsa dan agama, serta keutamaan-keutamaan yang akan membawa bangsa itu kepada kebahagiaan di dunia dan di akhir. Apabila nafkah-nafkah semacam itu telah menampakkan hasilnya untuk kekuatan agama dan kebahagiaan bangsa, maka orang-orang yang bernafkah itu pun akan dapat pula menikmatinya.
Ajaran-ajaran Islam mengenai infak sangat tinggi nilainya. Selain mengikis sifat-sifat yang tidak baik seperti kikir dan mementingkan diri sendiri, infak ini juga menimbulkan kesadaran sosial yang mendalam, bahwa masing-masing orang senantiasa saling membutuhkan, dan seseorang tak akan dapat hidup seorang diri. Sebab itu harus ada sifat gotong-royong, dan saling memberi, sehingga jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin dapat ditiadakan, persaudaraan dipupuk dengan hubungan yang lebih akrab.
Menafkahkan harta di jalan Allah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunat seperti sedekah, yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat, untuk memberantas penyakit, kemiskinan dan kebodohan, untuk penyiaran agama Islam dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan adalah sangat dituntut oleh agama, dan sangat dianjurkan oleh syariat. Sebab itu, terdapat banyak sekali ayat-ayat Alquran yang membicarakan masalah ini, serta memberikan dorongan yang kuat dan memberikan perumpamaan yang menggambarkan bagaimana beruntungnya orang-orang yang suka berinfak dan betapa malangnya orang-orang yang tidak mau menafkahkan hartanya.[1]
 tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムöNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO Ÿw tbqãèÎ7÷Gム!$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]Œr&   öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtóstƒ ÇËÏËÈ
  Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 262
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa pahala dan keberuntungan yang akan didapat oleh orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, ada syaratnya, yaitu bahwa ia memberikan hartanya itu benar-benar dengan ikhlas, dan setelah itu ia tidak suka menyebut-nyebut infaknya itu dengan kata-kata yang dapat melukai perasaan orang yang menerimanya. Orang-orang semacam inilah yang berhak untuk memperoleh pahala di sisi Allah, dan tak ada kekhawatiran atas mereka, dan mereka tidak merasa sedih. Ini berarti, bahwa orang yang memberikan sedekah kepada seseorang, kemudian ia menyebut-nyebut sedekah dan pemberiannya itu dengan kata-kata yang menyinggung perasaan dan kehormatan orang yang menerima sedekah itu, maka orang semacam ini tidak berhak memperoleh pahala di sisi Allah swt.
Ini adalah ajaran yang sangat tinggi nilainya, sebab ada orang yang menyumbangkan hartanya bukan karena mengharapkan rida Allah, melainkan hanya menginginkan popularitas dan kemasyhuran serta puji-pujian dan masyarakat, disiarkannya infaknya itu dengan cara yang menyolok, sehingga ia dikagumi sebagai seorang dermawan. Atau ketika memberikan sedekah itu ia mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan bagi orang yang menerimanya. Pemberian semacam ini adalah bertentangan dengan tujuan agama, karena tidak akan menimbulkan hubungan kasih sayang dan persaudaraan, melainkan menimbulkan kebencian dan permusuhan. Sebab itu wajarlah jika orang-orang semacam ini tidak akan mendapatkan pahala di sisi Allah.
Ringkasnya, menafkahkan harta di jalan Allah haruslah dengan niat yang ikhlas dan maksud yang suci. Atas niat yang ikhlas inilah Allah akan memberikan pahala, dan masyarakat akan menghargainya.
Pada akhir ayat tersebut Allah swt. menjelaskan bahwa orang-orang yang berinfak dengan niat yang ikhlas itu, selain akan memperoleh pahala di sisi Allah, juga tidak dikhawatirkan nasib mereka, sebab mereka itu pasti akan mendapat pahala dan rida Allah swt. Dan mereka juga tidak akan bersedih hati, bahkan mereka akan bergembira nanti di akhirat karena mereka telah dapat berbuat kebaikan, dan kebaikan itu mendatangkan pahala bagi mereka. Sebaliknya, orang-orang yang enggan berinfak, nanti di akhirat akan bersedih hati dan menyesal, sebab tak akan ada lagi kesempatan bagi mereka untuk berbuat kebaikan. Dan mereka akan menerima azab dari Allah swt.
* ×Aöqs% Ô$rã÷è¨B îotÏÿøótBur ׎öyz `ÏiB 7ps%y|¹ !$ygãèt7÷Ktƒ ]Œr& 3 ª!$#ur ;ÓÍ_xî ÒOŠÎ=ym ÇËÏÌÈ
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun 263”[2]
Tafsiran ayat 263
Allah menyebutkan empat tingkatan dalam kebajikan:
Tingkatan pertama: Nafkah yang terlahir dari niat yang shalih dan pemberi nafkah tidak mengiringinya dengan menyebut-nyebutnya dan menyinggung perasaan penerima.
Tingkatan kedua: Berkata yang baik, yaitu kebajikan berupa perkataan dengan segala bentuknya yang mengandung kebahagiaan bagi seorang muslim, meminta maaf dari orang yang meminta apabila dia tidak memiliki apa yang diminta, dan sebagainya dari perkataan yang baik.
Tingkatan ketiga: Kebajikan dengan memberi maaf dan ampunan kepada orang yang telah berlaku buruk kepada anda, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Dua yang terakhir ini lebih utama dan lebih baik dari tingkatan berikut.
Tingkatan Keempat: Pemberi infak itu mengiringi infaknya dengan perlakuan menyakitkan kepada penerimanya karena dia telah mengotori kebaikannya tersebut dan dia telah berbuat baik dan jahat (sekaligus). Kebajikan yang murni walaupun sangat sedikit adalah lebih baik daripada kebajikan yang dicampuri oleh keburukan walaupun kebajikan itu banyak. Ini merupakan ancaman yang keras terhadap orang yang berinfak yang menyakiti orang yang diberikan nafkahnya tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang suka mencela, pandir dan bodoh.[3]

Penjelasan
Mengambil Upah Mengajar Al Quran bagi orang yang mengajar Al Quran atau sabda Nabi SAW atau ilmu-ilmu agama, dia berhak menerima upah dari jerih payahnya atau usahanya. Sebagaimana hadis Rasulullah menyebutkan:
“Dari Ibu Abbas r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda, pekerjaan yang lebih berhak menerima upahnya ialah mengajarkan kitab Allah Ta`ala”. H.R Bukhari dan muslim.
Pendapat Para Imam Mazhab tentang Upah Dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam pekerjaan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa,haji dan membaca al quran diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Mazhab hanafi perpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa haji, atau membaca al quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti ibu bapak dari yang menyewa, azan, qomat, dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut. Karena rasul saw bersabda  yang artinya ”Bacalah olehmu Al Quran dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”.  “jika kamu mengankat seseorang menjadi muazdin, maka janganlah kamu pungut dari azan itu suatu upah”.
Perbuatan seperti azan, qomat, shalat, haji, puasa, membaca Al Quran,dan dzikir tergolong perbuatan taqarrub kepada allah karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang sering terjadi di beberapa daerah dinegara Indonesia, apabila salah seorang muslim meninggal dunia, maka orang-orang yang ditinggal mati (keluarga) memeintah kepada santri atau yang lainnya yang pandai membaca al Quran dirumah atau dikuburan secara bergantian selama tiga malam bil;a yang meninggal belum dewasa, tujuh malam bagi orang yang meninggal sudah dewasa dan ada pula bagi orang-orang tertentu mencapai 40 malam.setelah selesai pembacaan al quran pada waktu yang telah ditentukan, mereka diberi upah alakadarnya dari jasanya tersebut.
Pekerjaan seperti ini batal menurut hukum islam karena yang membaca Al Quran bila bertujuan untuk meamperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca Al Quran niat karena Allah, maka pahala pembacaan ayat Al Quran untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain, kerena Allah berfirman: yang artinya
Mereka mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dia kerjakan.(Al Baqarah:282).

Dijelaskan oleh sayid sabiq dalam kitabnya fiqh sunnah, para ulama memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik, seperti pahala pengajar alquran, guru-guru disekolah dan yang lainnya diperbolehkan mengambil upah karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, mengingat mereka tidak sempat melakukan pekerjaan lain seperti berdagang, bertani, dan yang lainnya dan waktunya tersisa untuk mengajarkan alquran. 
Menurut madzab Hambali bahwa mengambil upah dari pekerjaan azan, qomat, mengajarkan Al Quran, fiqh, hadis, adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya. Untuk mengambil upah tersebut. Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih, seperti mengajarkan Al Quran, hadis, dan fiqh dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al Quran, shalat, dan yang lainnya.
Madzab Maliki, Syafi`i, dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajar Al Quran dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagai imbalan mangajar Al Quran dan pengajaran ilmu, baik secara bulanan maupun sekaligus karena nash yang melarang tidak ada.
Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawah Al Quran dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al Quran. 
Imam Syifi`i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran fiqh, hadis, menggali kuburan, memandikan mayat, dan membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah adalah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayit tidak boleh.[4]

2.      Surat Al An’am ayat 160
`tB uä!%y` ÏpuZ|¡ptø:$$Î/ ¼ã&s#sù çŽô³tã $ygÏ9$sWøBr& ( `tBur uä!%y` Ïpy¥ÍhŠ¡¡9$$Î/ Ÿxsù #tøgä žwÎ) $ygn=÷WÏB öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÊÏÉÈ
160. Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)[5]
Pada ayat ini diterangkan dengan jelas bahwa barang siapa berbuat amal baik, maka Allah akan memberikan pahala balasannya di hari akhirat dengan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan hanya dibalas setimpal dengan kejahatannya, sebab Allah tidak akan menganiaya sedikit pun atau merugikan mereka. Yang dimaksud dengan orang yang beramal baik di sini ialah orang-orang mukmin karena amal baik orang kafir sebelum masuk Islam tidak akan bermanfaat bagi mereka di akhirat, seperti yang diterangkan di dalam firman Allah:
ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(88)
Artinya:
Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (Q.S Al An'am: 88)
Dan yang dimaksud dengan balasan sepuluh kali lipat di sini belum termasuk apa yang dijanjikan Allah dengan balasan yang jauh lebih banyak dan berlipat ganda dari itu lagi kepada orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah sampai 700 kali seperti disebutkan dalam firman Allah atau hadis qudsi:
إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ(17)
Artinya:
Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (pembalasan semuanya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas jasa lagi Maha Penyantun.(Q.S At Taghabun: 17)
Di dalam hadis Nabi Muhammad saw. banyak dijumpai tentang balasan amal baik dan amal jahat sehingga diterangkan juga pahala balasan terhadap orang-orang yang belum mengerjakannya hanya sekadar niat dan putusan atau ketetapan hatinya. Hal ini tersebut dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang menceritakan dengan terjemahannya sebagai berikut:
Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Allah berfirman kepada malaikatnya, "Apabila hamba-Ku hendak mengerjakan sesuatu pekerjaan jahat, janganlah dituliskan (jangan dicatat) sebagai suatu kesalahan sebelum dikerjakannya. Dan apabila dikerjakannya, catatlah baginya satu kesalahan (kejahatan). Dan jika ditinggalkannya (tidak jadi diperbuatnya) karena Aku (karena Allah), maka tulislah baginya satu kebaikan. Dan apabila ia hendak mengerjakan kebaikan dan tidak dikerjakannya, maka tulislah baginya satu pahala kebaikan. Dan apabila dikerjakannya, maka tulislah sampai tujuh ratus kali lipat pahala kebaikan baginya."
BAB III
PENUTUP 
Kesimpulan
1.      Tafsiran ayat 261 Allah mengutamakan dalam menafkahkan harta dijalan Allah.
2.      Tafsiran ayat 262 Allah melarang kita untuk menyebut-nyebutkan harta yang sudah kita nafkahkan dijalan Allah tersebut. Terlebih dalam hal pemberian upah untuk jalan ilmu pendidikan, ilmu agama dan lain sebagainya yang bertujuan untuk ilmu dan agama tersebut
3.      Tafsiran ayat 263 Allah menyebutkan empat tingkatan dalam kebajikan:

a.       Nafkah yang terlahir dari niat yang shalih dan pemberi nafkah tidak
mengiringinya dengan menyebut-nyebutnya dan menyinggung perasaan
penerima.
b.      Berkata yang baik, yaitu kebajikan berupa perkataan dengan segala
bentuknya yang mengandung kebahagiaan bagi seorang muslim, meminta
maaf dari orang yang meminta apabila dia tidak memiliki apa yang diminta,
dan sebagainya dari perkataan yang baik.
c.       Kebajikan dengan memberi maaf dan ampunan kepada orang yang telah
berlaku buruk kepada anda, baik dengan perkataan maupun dengan
perbuatan. Dua yang terakhir ini lebih utama dan lebih baik dari tingkatan
berikut.
d.    Pemberi infak itu mengiringi infaknya dengan perlakuan menyakitkan kepada penerimanya karena dia telah mengotori kebaikannya tersebut dan dia telah berbuat baik dan jahat (sekaligus). Kebajikan yang murni walaupun sangat sedikit adalah lebih baik daripada kebajikan yang dicampuri oleh keburukan walaupun kebajikan itu banyak. Ini merupakan ancaman yang keras terhadap orang yang berinfak yang menyakiti orang yang diberikan nafkahnya tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang suka mencela, pandir dan bodoh
Jadi dari kesimpulan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa imbalan seorang mengajar menurut surat Al Baqarah ayat 263 memperbolehkan asal tidak menyakiti hati seorang pendidik dengan menyebut nyebutkan pemberiannya.
4.    Pada Surat Al-An’am Ayat 160 ini diterangkan dengan jelas bahwa barang siapa berbuat amal baik, maka Allah akan memberikan pahala balasannya di hari akhirat dengan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan hanya dibalas setimpal dengan kejahatannya, sebab Allah tidak akan menganiaya sedikit pun atau merugikan mereka. Yang dimaksud dengan orang yang beramal baik di sini ialah orang-orang mukmin karena amal baik orang kafir sebelum masuk Islam tidak akan bermanfaat bagi mereka di akhirat




















DAFTAR PUSTAKA

2.        Mahmud Yunus, Tafsir Al Qur’anu Karim, Hidakarya Agung Jakarta, cet 3
3.        Mustofa Al Maraghi, Terjemah Tafsir al Maragi, CV. Tofa Putra Semarang,1990.
4.        Suparta dkk. Materi Pokok Fiqih I, Universitas terbuka, 1992.
6.        Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Tafsir al-Qur-an al-Karim, , jilid 3



[1] http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp?pageno=14&SuratKe=2
[2] Mahmud Yunus, Tafsir Al Qur’anu Karim, Hidakarya Agung Jakarta, cet 3 hlm.  57
[3] Ahmad Mustofa Al Maraghi, Terjemah Tafsir al Maragi, CV. Tofa Putra Semarang, 1990. Hlm 125
[4] Suparta dkk. Materi Pokok Fiqih I, Universitas terbuka, 1992. Hlm 5.58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar