BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Segala puji syukur hanya
milik Allah sang Khalik, yang maha pengasih dan maha penyang, dan shalawat
salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah yang senantiasa kita harap
selalu syafaat beliau kelak di yaumil qiyamah.
Menurut tafsiran ayat
263 surat Al baqarah menyebutkan Nafkah ata upah yang terlahir dari niat
yang shalih dan pemberi nafkah tidak mengiringinya dengan menyebut-nyebutnya
dan menyinggung perasaan penerima.
Mengambil upah dalam
mengajarkan Al Quran atau hadis Nabi SAW, atau ilmu agama lainnya, maka berhak
menrima dari jerih payahnya. Sebagaimana dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda
yang artinya:
“Dari Ibu Abbas r.a.
dari Nabi SAW, beliau bersabda, pekerjaan yang lebih berhak menerima upahnya ialah
mengajarkan kitab Allah Ta`ala”. H.R Bukhari dan muslim.
Dari hadis diatas bisa
disimpulkan bahwa orang yang mengajarkan al quran, dapat menerima upah dari apa
yang diajarkan.
Dalam pembahasan ini
kami akan singgung pendapat para Ulama Imam Mazhab tentang pekerjaan-pekerjaan
Ibadah (ketaatan), sepeti membaca Al Qur`an, mengajarkan Al Qur`an dan lain
sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan
surat Al Baqarah ayat 261 – 263, Al an’am ayat 160
dan surat An Nisa’ ayat 32 – 33 yang menerangkan
tentang imbalan pendidik
atau upah seorang pengajar ?
2. Bagaimana tafsiran Al
Baqarah ayat 261 – 263 yang menerangkan tentang
imbalan pendidik atau upah seorang pengajar ?
3.
Bagaimana Tafsiran Surat Al-An’am Ayat 160
Tentang Pahala Berbuat Kebajikan
BAB II
PEMBAHASAN
TENTANG KONSEP IMBALAN
MENGAJAR
A.
Ayat- Ayat Tentang
Imbalan Mengajar
1. Surat Al Baqarah
ayat 261 – 263
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã óOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y @Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ïè»Òã `yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOÎ=tæ ÇËÏÊÈ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui 261
Dalam ayat ini Allah
swt. menggambarkan keberuntungan orang yang suka membelanjakan atau menyumbangkan
harta bendanya di jalan Allah, yaitu untuk mencapai keridaan-Nya.
Hubungan antara infak
dan hari akhirat adalah erat sekali karena sebagaimana diketahui, seseorang tak
akan mendapat pertolongan apa pun dan dari siapa pun pada hari akhirat itu, kecuali
dari hasil amalnya sendiri selagi ia masih di dunia, antara lain amalnya yang
berupa infak di jalan Allah. Betapa mujurnya orang yang suka menafkahkan
hartanya di jalan Allah oleh ayat ini dilukiskan sebagai berikut: bahwa orang
tersebut adalah seperti seorang yang menyemaikan sebutir benih di tanah yang
subur. Benih yang sebutir itu menumbuhkan sebatang pohon dan pohon itu
bercabang tujuh, setiap cabang menghasilkan setangkai buah dan setiap tangkai
berisi seratus biji sehingga benih yang sebutir itu memberikan hasil sebanyak
700 butir. Ini berarti tujuh ratus kali lipat. Bayangkanlah betapa banyak
hasilnya apabila benih yang ditanamnya itu lebih dari sebutir.
Pada akhir ayat ini
Allah swt. menyebutkan dua sifat di antara sifat-sifat-Nya, yaitu Maha Luas dan
Maha Mengetahui. Maksudnya, Allah Maha Luas rahmat-Nya kepada hamba-Nya,
karunia-Nya tak terhitung jumlahnya. Dan Maha Mengetahui siapakah di antara
hamba-hamba-Nya yang patut diberi pahala yang berlipat-ganda, yaitu mereka yang
suka menafkahkan harta bendanya untuk kepentingan umum, untuk menegakkan
kebenaran, dan untuk kepentingan pendidikan bangsa dan agama, serta
keutamaan-keutamaan yang akan membawa bangsa itu kepada kebahagiaan di dunia
dan di akhir. Apabila nafkah-nafkah semacam itu telah menampakkan hasilnya
untuk kekuatan agama dan kebahagiaan bangsa, maka orang-orang yang bernafkah
itu pun akan dapat pula menikmatinya.
Ajaran-ajaran Islam
mengenai infak sangat tinggi nilainya. Selain mengikis sifat-sifat yang tidak
baik seperti kikir dan mementingkan diri sendiri, infak ini juga menimbulkan
kesadaran sosial yang mendalam, bahwa masing-masing orang senantiasa saling
membutuhkan, dan seseorang tak akan dapat hidup seorang diri. Sebab itu harus
ada sifat gotong-royong, dan saling memberi, sehingga jurang pemisah antara
yang kaya dan yang miskin dapat ditiadakan, persaudaraan dipupuk dengan
hubungan yang lebih akrab.
Menafkahkan harta di
jalan Allah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunat seperti sedekah,
yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat, untuk memberantas penyakit,
kemiskinan dan kebodohan, untuk penyiaran agama Islam dan untuk pengembangan
ilmu pengetahuan adalah sangat dituntut oleh agama, dan sangat dianjurkan oleh
syariat. Sebab itu, terdapat banyak sekali ayat-ayat Alquran yang membicarakan
masalah ini, serta memberikan dorongan yang kuat dan memberikan perumpamaan
yang menggambarkan bagaimana beruntungnya orang-orang yang suka berinfak dan
betapa malangnya orang-orang yang tidak mau menafkahkan hartanya.[1]
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã öNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO w tbqãèÎ7÷Gã !$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]r& öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u wur ì$öqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtóst ÇËÏËÈ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima),
mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 262
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa pahala dan
keberuntungan yang akan didapat oleh orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah, ada syaratnya, yaitu bahwa ia memberikan hartanya itu benar-benar dengan
ikhlas, dan setelah itu ia tidak suka menyebut-nyebut infaknya itu dengan
kata-kata yang dapat melukai perasaan orang yang menerimanya. Orang-orang
semacam inilah yang berhak untuk memperoleh pahala di sisi Allah, dan tak ada
kekhawatiran atas mereka, dan mereka tidak merasa sedih. Ini berarti, bahwa orang
yang memberikan sedekah kepada seseorang, kemudian ia menyebut-nyebut sedekah
dan pemberiannya itu dengan kata-kata yang menyinggung perasaan dan kehormatan
orang yang menerima sedekah itu, maka orang semacam ini tidak berhak memperoleh
pahala di sisi Allah swt.
Ini adalah ajaran yang sangat tinggi nilainya, sebab ada
orang yang menyumbangkan hartanya bukan karena mengharapkan rida Allah,
melainkan hanya menginginkan popularitas dan kemasyhuran serta puji-pujian dan
masyarakat, disiarkannya infaknya itu dengan cara yang menyolok, sehingga ia
dikagumi sebagai seorang dermawan. Atau ketika memberikan sedekah itu ia
mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan bagi orang yang menerimanya.
Pemberian semacam ini adalah bertentangan dengan tujuan agama, karena tidak
akan menimbulkan hubungan kasih sayang dan persaudaraan, melainkan menimbulkan
kebencian dan permusuhan. Sebab itu wajarlah jika orang-orang semacam ini tidak
akan mendapatkan pahala di sisi Allah.
Ringkasnya, menafkahkan harta di jalan Allah haruslah dengan
niat yang ikhlas dan maksud yang suci. Atas niat yang ikhlas inilah Allah akan
memberikan pahala, dan masyarakat akan menghargainya.
Pada akhir ayat tersebut Allah swt. menjelaskan bahwa
orang-orang yang berinfak dengan niat yang ikhlas itu, selain akan memperoleh
pahala di sisi Allah, juga tidak dikhawatirkan nasib mereka, sebab mereka itu
pasti akan mendapat pahala dan rida Allah swt. Dan mereka juga tidak akan
bersedih hati, bahkan mereka akan bergembira nanti di akhirat karena mereka
telah dapat berbuat kebaikan, dan kebaikan itu mendatangkan pahala bagi mereka.
Sebaliknya, orang-orang yang enggan berinfak, nanti di akhirat akan bersedih
hati dan menyesal, sebab tak akan ada lagi kesempatan bagi mereka untuk berbuat
kebaikan. Dan mereka akan menerima azab dari Allah swt.
* ×Aöqs% Ô$rã÷è¨B îotÏÿøótBur ×öyz `ÏiB 7ps%y|¹ !$ygãèt7÷Kt ]r& 3 ª!$#ur ;ÓÍ_xî ÒOÎ=ym ÇËÏÌÈ
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah
yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah
Maha Kaya lagi Maha Penyantun 263”[2]
Tafsiran ayat 263
Allah menyebutkan empat tingkatan dalam kebajikan:
Tingkatan pertama: Nafkah yang
terlahir dari niat yang shalih dan pemberi nafkah tidak mengiringinya dengan
menyebut-nyebutnya dan menyinggung perasaan penerima.
Tingkatan kedua: Berkata yang baik,
yaitu kebajikan berupa perkataan dengan segala bentuknya yang mengandung
kebahagiaan bagi seorang muslim, meminta maaf dari orang yang meminta apabila
dia tidak memiliki apa yang diminta, dan sebagainya dari perkataan yang baik.
Tingkatan ketiga: Kebajikan dengan memberi
maaf dan ampunan kepada orang yang telah berlaku buruk kepada anda, baik dengan
perkataan maupun dengan perbuatan. Dua yang terakhir ini lebih utama dan lebih
baik dari tingkatan berikut.
Tingkatan Keempat: Pemberi infak itu
mengiringi infaknya dengan perlakuan menyakitkan kepada penerimanya karena dia
telah mengotori kebaikannya tersebut dan dia telah berbuat baik dan jahat
(sekaligus). Kebajikan yang murni walaupun sangat sedikit adalah lebih baik
daripada kebajikan yang dicampuri oleh keburukan walaupun kebajikan itu banyak.
Ini merupakan ancaman yang keras terhadap orang yang berinfak yang menyakiti
orang yang diberikan nafkahnya tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang
yang suka mencela, pandir dan bodoh.[3]
Penjelasan
Mengambil Upah Mengajar Al Quran bagi orang yang
mengajar Al Quran atau sabda Nabi SAW atau ilmu-ilmu agama, dia berhak menerima
upah dari jerih payahnya atau usahanya. Sebagaimana hadis Rasulullah menyebutkan:
“Dari Ibu Abbas r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda, pekerjaan yang lebih berhak menerima upahnya ialah mengajarkan kitab Allah Ta`ala”. H.R Bukhari dan muslim.
“Dari Ibu Abbas r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda, pekerjaan yang lebih berhak menerima upahnya ialah mengajarkan kitab Allah Ta`ala”. H.R Bukhari dan muslim.
Pendapat Para Imam Mazhab tentang Upah Dalam
Pekerjaan Ibadah
Upah dalam pekerjaan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa,haji dan membaca al quran diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Upah dalam pekerjaan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa,haji dan membaca al quran diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Mazhab hanafi perpendapat bahwa ijarah dalam
perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa haji, atau
membaca al quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti ibu
bapak dari yang menyewa, azan, qomat, dan menjadi imam, haram hukumnya
mengambil upah dari pekerjaan tersebut. Karena rasul saw bersabda yang
artinya ”Bacalah olehmu Al Quran dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan
itu”. “jika kamu mengankat seseorang menjadi muazdin, maka janganlah kamu
pungut dari azan itu suatu upah”.
Perbuatan seperti azan, qomat, shalat, haji,
puasa, membaca Al Quran,dan dzikir tergolong perbuatan taqarrub kepada allah
karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang sering terjadi di beberapa daerah
dinegara Indonesia, apabila salah seorang muslim meninggal dunia, maka
orang-orang yang ditinggal mati (keluarga) memeintah kepada santri atau yang
lainnya yang pandai membaca al Quran dirumah atau dikuburan secara bergantian
selama tiga malam bil;a yang meninggal belum dewasa, tujuh malam bagi orang
yang meninggal sudah dewasa dan ada pula bagi orang-orang tertentu mencapai 40
malam.setelah selesai pembacaan al quran pada waktu yang telah ditentukan,
mereka diberi upah alakadarnya dari jasanya tersebut.
Pekerjaan seperti ini batal menurut hukum islam
karena yang membaca Al Quran bila bertujuan untuk meamperoleh harta maka tak
ada pahalanya. Lantas apa yang dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca Al
Quran niat karena Allah, maka pahala pembacaan ayat Al Quran untuk dirinya
sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain, kerena Allah berfirman:
yang artinya
Mereka mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dia kerjakan.(Al
Baqarah:282).
Dijelaskan oleh sayid sabiq dalam kitabnya fiqh
sunnah, para ulama memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap
sebagai perbuatan baik, seperti pahala pengajar alquran, guru-guru disekolah
dan yang lainnya diperbolehkan mengambil upah karena mereka membutuhkan
tunjangan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, mengingat mereka
tidak sempat melakukan pekerjaan lain seperti berdagang, bertani, dan yang
lainnya dan waktunya tersisa untuk mengajarkan alquran.
Menurut madzab Hambali bahwa mengambil upah dari
pekerjaan azan, qomat, mengajarkan Al Quran, fiqh, hadis, adalah tidak boleh,
diharamkan bagi pelakunya. Untuk mengambil upah tersebut. Namun, boleh
mengambil upah dari pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih, seperti
mengajarkan Al Quran, hadis, dan fiqh dan haram mengambil upah yang termasuk
kepada taqarrub seperti membaca Al Quran, shalat, dan yang lainnya.
Madzab Maliki, Syafi`i, dan Ibnu Hazm
membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajar Al Quran dan ilmu-ilmu
karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga
yang diketahui pula.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah
sebagai imbalan mangajar Al Quran dan pengajaran ilmu, baik secara bulanan
maupun sekaligus karena nash yang melarang tidak ada.
Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah
dari tilawah Al Quran dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan
pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh
mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al Quran.
Imam Syifi`i berpendapat bahwa pengambilan upah
dari pengajaran fiqh, hadis, menggali kuburan, memandikan mayat, dan membangun
madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan
upah menggali kuburan dan membawa jenazah adalah boleh, namun pengambilan upah
memandikan mayit tidak boleh.[4]
2. Surat Al An’am ayat 160
`tB uä!%y` ÏpuZ|¡ptø:$$Î/ ¼ã&s#sù çô³tã $ygÏ9$sWøBr& ( `tBur uä!%y` Ïpy¥Íh¡¡9$$Î/ xsù #tøgä wÎ) $ygn=÷WÏB öNèdur w tbqßJn=ôàã ÇÊÏÉÈ
160. Barangsiapa membawa
amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan
barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan)[5]
Pada ayat ini diterangkan dengan jelas bahwa barang
siapa berbuat amal baik, maka Allah akan memberikan pahala balasannya di hari
akhirat dengan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan
hanya dibalas setimpal dengan kejahatannya, sebab Allah tidak akan menganiaya
sedikit pun atau merugikan mereka. Yang dimaksud dengan orang yang beramal baik
di sini ialah orang-orang mukmin karena amal baik orang kafir sebelum masuk
Islam tidak akan bermanfaat bagi mereka di akhirat, seperti yang diterangkan di
dalam firman Allah:
ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ
مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ(88)
Artinya:
Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (Q.S Al An'am: 88)
Artinya:
Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (Q.S Al An'am: 88)
Dan yang dimaksud dengan balasan sepuluh kali lipat
di sini belum termasuk apa yang dijanjikan Allah dengan balasan yang jauh lebih
banyak dan berlipat ganda dari itu lagi kepada orang-orang yang membelanjakan
hartanya di jalan Allah sampai 700 kali seperti disebutkan dalam firman Allah
atau hadis qudsi:
إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ(17)
Artinya:
Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (pembalasan semuanya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas jasa lagi Maha Penyantun.(Q.S At Taghabun: 17)
إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ(17)
Artinya:
Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (pembalasan semuanya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas jasa lagi Maha Penyantun.(Q.S At Taghabun: 17)
Di dalam hadis Nabi Muhammad saw. banyak dijumpai
tentang balasan amal baik dan amal jahat sehingga diterangkan juga pahala
balasan terhadap orang-orang yang belum mengerjakannya hanya sekadar niat dan
putusan atau ketetapan hatinya. Hal ini tersebut dalam sebuah hadis qudsi yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang menceritakan dengan
terjemahannya sebagai berikut:
Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Allah berfirman
kepada malaikatnya, "Apabila hamba-Ku hendak mengerjakan sesuatu pekerjaan
jahat, janganlah dituliskan (jangan dicatat) sebagai suatu kesalahan sebelum
dikerjakannya. Dan apabila dikerjakannya, catatlah baginya satu kesalahan
(kejahatan). Dan jika ditinggalkannya (tidak jadi diperbuatnya) karena Aku
(karena Allah), maka tulislah baginya satu kebaikan. Dan apabila ia hendak
mengerjakan kebaikan dan tidak dikerjakannya, maka tulislah baginya satu pahala
kebaikan. Dan apabila dikerjakannya, maka tulislah sampai tujuh ratus kali
lipat pahala kebaikan baginya."
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Tafsiran ayat 261 Allah mengutamakan dalam
menafkahkan harta dijalan Allah.
2.
Tafsiran ayat 262 Allah melarang kita untuk
menyebut-nyebutkan harta yang sudah kita nafkahkan dijalan Allah tersebut.
Terlebih dalam hal pemberian upah untuk jalan ilmu pendidikan, ilmu agama dan
lain sebagainya yang bertujuan untuk ilmu dan agama tersebut
3.
Tafsiran ayat 263 Allah menyebutkan empat
tingkatan dalam kebajikan:
a.
Nafkah yang terlahir dari niat yang shalih dan
pemberi nafkah tidak
mengiringinya dengan
menyebut-nyebutnya dan menyinggung perasaan
penerima.
b.
Berkata yang baik, yaitu kebajikan berupa
perkataan dengan segala
bentuknya yang
mengandung kebahagiaan bagi seorang muslim, meminta
maaf dari orang yang
meminta apabila dia tidak memiliki apa yang diminta,
dan sebagainya dari
perkataan yang baik.
c.
Kebajikan dengan memberi maaf dan ampunan kepada
orang yang telah
berlaku buruk kepada
anda, baik dengan perkataan maupun dengan
perbuatan. Dua yang
terakhir ini lebih utama dan lebih baik dari tingkatan
berikut.
d. Pemberi infak itu
mengiringi infaknya dengan perlakuan menyakitkan kepada penerimanya karena dia
telah mengotori kebaikannya tersebut dan dia telah berbuat baik dan jahat
(sekaligus). Kebajikan yang murni walaupun sangat sedikit adalah lebih baik
daripada kebajikan yang dicampuri oleh keburukan walaupun kebajikan itu banyak.
Ini merupakan ancaman yang keras terhadap orang yang berinfak yang menyakiti
orang yang diberikan nafkahnya tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh
orang-orang yang suka mencela, pandir dan bodoh
Jadi dari kesimpulan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa imbalan
seorang mengajar menurut surat Al Baqarah ayat 263 memperbolehkan asal tidak
menyakiti hati seorang pendidik dengan menyebut nyebutkan pemberiannya.
4. Pada
Surat Al-An’am Ayat 160 ini diterangkan dengan jelas bahwa barang siapa berbuat
amal baik, maka Allah akan memberikan pahala balasannya di hari akhirat dengan
sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan hanya dibalas
setimpal dengan kejahatannya, sebab Allah tidak akan menganiaya sedikit pun
atau merugikan mereka. Yang dimaksud dengan orang yang beramal baik di sini
ialah orang-orang mukmin karena amal baik orang kafir sebelum masuk Islam tidak
akan bermanfaat bagi mereka di akhirat
DAFTAR PUSTAKA
2.
Mahmud Yunus, Tafsir Al Qur’anu Karim, Hidakarya
Agung Jakarta, cet 3
3.
Mustofa Al Maraghi, Terjemah Tafsir al Maragi,
CV. Tofa Putra Semarang,1990.
4.
Suparta dkk. Materi Pokok Fiqih I, Universitas
terbuka, 1992.
6.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Tafsir
al-Qur-an al-Karim, , jilid 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar