Senin, 07 Januari 2013

HADIST IMBALAN MENGAJAR


I.            PENDAHULUAN
Mengajar merupakan sebuah amal kebaikan yang tiada tara. Di Indonesia, para guru dikenal dengan sebutan pahawan tanpa tanda jasa. Seiring dengan perkembangan zaman, kinerja seorang guru sangat dituntut untuk membangun mental serta spirituil anak didik. Namun problema pun juga mengiringi tuntutan tersebut. Dimana seorang guru hanya bergaji minim menyambung hidup keluarganya.
Jasa seorang guru tidaklah dapat diukur dengan sebuah materi. Sehingga dalam makalah ini, kami mencoba untuk membahas bagaimana hokum menerima imbalan dalam mengajar.
II.            RUMUSAN MASALAH
  1. Pemahaman Hadits tentang imbalan mengajar
  2. Hukum yang terkandung dari hadits tentang imbalan mengajar
III.            PEMBAHASAN
A.    Pemahaman Hadits
حَدَّثَنِي سِيدَانُ بْنُ مُضَارِبٍ أَبُو مُحَمَّدٍ البَاهِلِيُّ، حَدَّثَنَا  أَبُو مَعْشَرٍ البَصْرِيُّ هُوَ صَدُوقٌ يُوسُفُ بْنُ يَزِيدَ البَرَّاءُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الأَخْنَسِ أَبُو مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ، فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ المَاءِ، فَقَالَ: هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ، إِنَّ فِي المَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ عَلَى شَاءٍ، فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا: أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا المَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَحَقَّ        مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ»[1]
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas bahwa beberapa sahabat Nabi saw melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata; "Adakah di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa." Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; "Kamu mengambil upah atas kitabullah?" setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; "Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah." Maka Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah."
hadits lain dengan lafadz yang hampir sama disebutkan oleh imam Bukhori dalam kitabnya Shohih Al Bukhori hadits nomer 2276 bab ruqyah dengan Al Qur’an. Dan Imam Ibnu Majah dalam kitabnya sunan Ibnu Majah, nomer hadits 2157 bab Upah mengajarkan Al Qur’an
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ: حَدَّثَنَا مُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الْمَوْصِلِيُّ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَيٍّ، عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ ثَعْلَبَةَ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ: عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ الْقُرْآنَ وَالْكِتَابَةَ، فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا، فَقُلْتُ: لَيْسَتْ بِمَالٍ، وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا، فَقَالَ: «إِنْ سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا»
Diriwayatkan dari Ali bin Muhammad melalui jalur Ubadah bin Shomit berkata : Aku mengajarkan Alqur’an dan kitab kepada penduduk Shuffah, lalu salah seorang diantara mereka memberiku busur panah. Aku berkata : hal ini tidak bayar, aku melakukannya di jalan Allah. Kemudian aku bertanya kepada Rosulullah tentang hal tersebut, beliau bersabda : jika engkau senang digantungkan dari api neraka sebab busur itu, maka terimalah” [2]
Lafadz إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhori dan lafadz إِنْ سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا memberikan pengertian tentang hokum seseorang menerima upah dalam mengajar. Dalam mengajar terdapat beberapa hokum yang berbeda-beda adakalanya haram dan mubah sesuai dengan pendapat para ulama’.
Imam As Suyuthi memberikan pendapat pada hadits yang kedua yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah telah di naskh                   ( digugurkan dengan hadits sebelumnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhori)[3]
B.     Hukum menerima Imbalan Mengajar
Para ulama’ dalam memberikan fatwa atas permasalahan hokum menerima imbalan dari mengajar terdapat beberapa perbedaan pendapat. Pendapat pertama : Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah dan al-Hadawiyah tidak membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al-qur’an berdasarkan apa yang diriwayatkan dari ubay bin ka’ab.
قَالَ أُبَيْ بْنُ كَعْبٍ : عَلًّمْتُ رَجُلاً القُرْآنَ فَأَهْدَى لِي قُوسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِي صلى الله عليه و سلم فَقَالَ : إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قُوسًا مِنَ النَّارِ فَرَدَدْتُهَا
Artinya : “Telah berkata Ubay bin Ka’ab : Saya telah mengajar seorang laki-laki akan Qur’an, lalu dihadiahkan kepada saya satu panah, lantas saya khabarkan yang demikian kepada Rasulullah saw. Maka sabdanya:“Jika engkau ambil dia, berarti engkau ambil satu panah dari api”. Lalu saya kembalikan dia. (HR.Ibnu Majah, Abu Daud).
Alasan fihak yang mengharamkan, ialah sabda Rasul :
ﺍﻗﺮﺀﻭﺍ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻻ ﺗﻔﻠﻮﺍ ﻓﻴﻪ ﻭﻻ ﺗﺠﻔﻮﺍ ﻋﻨﻪ ﻭﻻ ﺗﺄﻛﻠﻮﺍ ﺑﻪ ﻭﻻ ﺗﺴﺘﻜﺜﺮﻭﺍ ﺑﻪ
Artinya : Bacalah Qur’an dan janganlah kamu berlebih-lebihan padanya, dan jangan kamu berjauh diri dari padanya, dan jangan kamu makan dengan dia, dan jangan kamu mengumpul-ngumpulkan (harta) dengan dia.
Dan ayat Al qur’an .
Ÿwur (#rçŽtIô±n@ ÓÉL»tƒ$t«Î/ $YYuKrO WxŠÎ=s% }»­ƒÎ)ur Èbqà)¨?$$sù ÇÍÊÈ  
Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. ( QS. Al Baqoroh : 41)

Madzhab Hanafiyyah melarang mengambil upah dalam mengajar namun memperbolehkan dalam ruqyah mempunyai alasan bahwa mengajarkan Al Qur’an merupakan suatu ibadah dan pahalanya adalah dari Allah Ta’ala.
Hal ini juga merupakan qiyas dalam masalah ruqyah namun ulama’ hanafiyyah memperbolehkan mengambil upah dalam masalah ruqyah karena bertendensi pada hadits Imam Al Bukhori.
Pendapat kedua : Didalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “ Sesungguhnya upah yang paling benar kalian terima adalah kitabullah” ( HR.Bukhori)
Al-Hafizh ibnu hajar mengatakan bahwa jumhur ulama telah berdalil dengan hadist ini didalam membolehkan mengambil bayaran dari mengajarkan Al-Qur’an.[4] Imam ash-Shon’ani mengatakan bahwa jumhur ulama, malik dan syafi’i membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an baik orang yang belajarnya adalah anak kecil atau orang dewasa seandainya hal itu dapat membantu sipengajar didalam pengajarannya berdasarkan hadist diatas.
Menurut pendapat kedua ini bahwa hadist-hadist dan riwayat-riwayat tentang mengharamkan ambil upah buat mengajar Qur’an itu, tidak ada yang kuat, tetapi lantaran hadist itu banyak, maka dapat juga dipandang sebagai larangan yang enteng yaitu makruh.
Dan menurut pandangan pendapat kedua ini, bahwa hal mengajar itu ada 2 macam:
1. Mengajarkan Qur’an
2. Mengajarkan lain-lain ilmu agama
Mengajar Qur’an pula terbagi 2
1.      Dengan cara yang guru-guru itu terpandang hina.
2.      Dengan cara-cara yang terhormat.
Menurut riwayat-riwayat yang tersebut di dalam kitab-kitab yang juga terbukti dihadapan kita, bahwa guru-guru Qur’an yang mengambil upah itu, selalu terpandang rendah, begitu juga tukang mengaji Qur’an dengan dapat bayaran, karena kerendahan ini, akan berpengaruh juga pada Qur’an yang dijadikan penghidupan itu.
Bisa jadi inilah yang menjadi sebab buat larangan tersebut. Pemandangan ini, dikuatkan oleh perbuatan Nabi pada mengawinkan seorang dengan maskawin dari ayat-ayat Qur’an.
Dibolehkan oleh Nabi tentang kawin itu, pada pandangan kami, ialah lantaran ditempat tersebut, tidak terpandang hina atau rendah. Mengajar Qur’an dengan cara yang tidak terpandang rendah itu, pada pandangan kami tidak termasuk pada larangan tadi, yaitu umpamanya seorang mengajar dengan mendapat gaji dari Baitul-Maal, atau mengajar Qur’an yang disertakan dengan lain-lain ilmu agama. Orang ini tidak akan terpandang rendah, lantaran orang-orang yang belajar kepadanya itu, merasa belajar dengan tidak bayar dan si guru pun tidak merasa rendah, lantaran dia tidak perlu kepada orang-orang yang belajar itu. Adapun mengajar lain-lain ilmu agama itu, tidak terlihat larangannya dan juga guru-guru itu tidak terpandang rendah walaupun mereka sambilkan dengan ajaran Qur’an.
Pendapat ketiga : Sementara itu para ulama sebahagian pada umumnya membolehkan pengambilan upah dari mengajarkan Al-qur’an dikarenakan darurat yaitu kekhawatiran akan hilangnya Al-qur’an ditengah-tengah kaum muslimin terlebih lagi dengan terputusnya pemberian kaum muslimin kepada baitul maal sebagai lembaga penopang perekonomian umat yang mengakibatkan para guru Al-Qur’an tidak lagi menyibukkan dirinya dengan mengajarkan Al-Qur’an kepada umat karena tuntutan kebutuhan keluarga mereka.
al-Imam Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pakar-pakar hukum Madinah sepakat membenarkan perolehan upah mengajar al-Quran dan agama. Jika demikian halnya pada masa lalu, maka lebih-lebih pada masa sekarang dimana kebutuhan hidup semakin banyak dan berkembang. Dan di sisi lain karena kesibukan mengajar al-Quran dan agama, menjadi tidak punya waktu dan kesempatan untuk mencarikan nafkah bagi keluarga yang menjadi tanggungan.[5]
Boleh guru-guru minta dan menerima bayaran dari murid-murid, terutama dimasa yang sekolah-sekolah sudah teratur dan guru mesti mengajar dengan tetap, padahal guru-guru itu perlu makan dan minum, sedang mengajar dengan cara sambilan saja akan memundurkan kita jauh kebelakang. Adapun apabila terjadi penentuan sejumlah harga tertentu diawal sebagai bayaran atas pengajaran Al-Qur’an yang dilakukannya maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Al-Hasan al Bashri, Asy Sya’bi dan ibnu Sirin membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al-Qur’an selama orang itu tidak mensyaratkannya. Mereka berdalil dengan hadist ubadah bin ash Shomit yang telah mengajarkan Al-Qur’an kepada seseorang dari Ahli Suffah kemudian orang itu menghadiahinya dengan sebuah busur (panah) maka Nabi Saw bersabda, “Jika engkau menyukai busur dari neraka maka terimalah”. Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan yang lainnya membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al-Qur’an meskipun orang itu menentukannya sebagai persyaratan.
Imam Ibnu Hajar mengutip Perkataan Imam Sya’by dalam Fathul Bari, beliau berkata : tidak diperbolehkan Muallim ( pengajar ) memberikan syarat kecuali ia diberi sesuatu dan dia menerimanya. Dan diperjelas dengan pendapat Ibnu Abi Syaibah : jika dia diberi sesuatu maka diperkenankan untuk menerimanya.[6]
Jika memang seorang pengajar atau lembaga pengajaran Al-Qur’an harus menentukan sejumlah harga tertentu sebagai bayarannya maka hendaklah memperhatikan dua hal berikut :
1.      Tetap menjaga keikhlasan didalam dirinya dan tidak menjadikan bayaran tersebut sebagai tujuannya dikarenakan hal itu akan menjadikan pengajarannya menjadi sia-sia disisi Allah Swt.
Syeikh Muhammad Mukhtar as Syinqithi dalam menjawab pertanyaan tentang hukum mengambil upah dalam mengajarakan ilmu-ilmu syar’iyah mengatakan, “....Imam Ibnu Jarir ath Thobari, Al-Hafizh Ibnu Hajar dan selainnya berpendapat bahwa orang yang dengan ilmunya bertujuan akhirat kemudian mendapatkan bayaran dari ilmunya disebabkan ketidakmapanan dalam mendapatkan rezeki maka hal ini tidaklah merusak keikhlasannya selama tujuannya adalah mengajarkan ilmu dan memberikan manfaat kepada kaum muslimin. Maka tidaklah rusak keikhlasan seseorang dengan keberadaan bagian dari dunia, sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan yang shahih dari Al-Qur’an dan Sunnah.”
2.      Jangan sampai tujuan pengajaran Al-Qur’an yaitu memberantas buta huruf Al-Qur’an ditengah-tengah umat menjadi tidak tercapai dikarenakan ketidaksanggupan umat membayar harga yang ditawarkannya.

IV.            KESIMPULAN
Mengambil gaji dari mengajar Al-qur’an, ada perbedaan pendapat diantara ulama fiqih.
  1. Pendapat pertama : Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah dan al-Hadawiyah tidak membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al-qur’an berdasarkan apa yang diriwayatkan dari ubay bin ka’ab.
قَالَ أُبَيْ بْنُ كَعْبٍ : عَلًّمْتُ رَجُلاً القُرْآنَ فَأَهْدَى لِي قُوسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِي صلى الله عليه و سلم فَقَالَ : إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قُوسًا مِنَ النَّارِ فَرَدَدْتُهَا
Artinya : “Telah berkata Ubay bin Ka’ab : Saya telah mengajar seorang laki-laki akan Qur’an, lalu dihadiahkan kepada saya satu panah, lantas saya khabarkan yang demikian kepada Rasulullah saw. Maka sabdanya:“Jika engkau ambil dia, berarti engkau ambil satu panah dari api”. Lalu saya kembalikan dia. (HR.Ibnu Majah, Abu Daud).
  1. Pendapat kedua : Al-Hafizh ibnu hajar mengatakan bahwa jumhur ulama telah berdalil dengan hadist ini didalam membolehkan mengambil bayaran dari mengajarkan Al-Qur’an.
  2. Pendapat ketiga : para ulama sebahagian pada umumnya membolehkan pengambilan upah dari mengajarkan Al-qur’an dikarenakan darurat yaitu kekhawatiran akan hilangnya Al-qur’an ditengah-tengah kaum muslimin terlebih lagi dengan terputusnya pemberian kaum muslimin kepada baitul maal sebagai lembaga penopang perekonomian umat yang mengakibatkan para guru Al-Qur’an tidak lagi menyibukkan dirinya dengan mengajarkan Al-Qur’an kepada umat karena tuntutan kebutuhan keluarga mereka.       al-Imam Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pakar-pakar hukum Madinah sepakat membenarkan perolehan upah mengajar al-Quran dan agama. Jika demikian halnya pada masa lalu, maka lebih-lebih pada masa sekarang dimana kebutuhan hidup semakin banyak dan berkembang. Dan di sisi lain karena kesibukan mengajar al-Quran dan agama, menjadi tidak punya waktu dan kesempatan untuk mencarikan nafkah bagi keluarga yang menjadi tanggungan
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad bin Ali bin Hajar Al ‘Asqolany, Fathul Bari, Riyadl, Dar el Salam
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah











[1] Ahmad bin Ali bin Hajar Al ‘Asqolany, Fathul Bari, Riyadl, Dar el Salam, Juz 10. Hlm. 254
[2] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. 2, hlm. 730
[3] Ibnu Majah, Op. Cit. hlm. 730
[4] Ahmad bin Ali bin Hajar Al ‘Asqolany, Op. Cit., Juz 4, hlm. 572
[6] Ahmad bin Ali bin Hajar Al ‘Asqolany, Op. Cit., Juz 4, hlm. 573

2 komentar: